PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH &
INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
Dosen: Antoni, SE., MM
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Harits
Abdillah H (23216223)
Indah
Sari (23216496)
Jan
Piter Steven (23216669)
Lestari
Setia R (24216029)
Loucianna
Sianturi (24216096)
Kelas 1EB17
PROGAM STUDI PEREKONOMIAN INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pembangunan merupakan suatu proses
perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan
sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia atau
masyarakat suatu bangsa. Ini berarti bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari
suatu keadaan atau kondisi kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehdiupan
yang lebih baik dalam rangka mencapai tujuan nasional suatu bangsa
(Tjokroaminoto & Mustopadidjaya, 1988; Siagian, 1985).Pembangunan Nasional
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945 serta menjalankan roda perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan
sosial. Pasal 33 UUD 1945, sebagai dasar untuk mewujudkan keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui peranan dan keberpihakan negara
dalam meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pembangunan
ekonomi salah satunya adalah Industrialisasi, Industrialisasi
adalah suatu proses perubahan sosial
ekonomi
yang merubah sistem pencaharian masyarakat agraris
menjadi masyarakat industri.
Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat
berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi),
gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari
proses modernisasi dimana perubahan sosial dan
perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi
teknologi.
TUJUAN
Tujuan
penulisan ini adalah untuk membekali
mahasiswa agar memahami dan dapat menjelaskan
tentang konsep otonomi daerah dan berbagai strategi pembangunan ekonomi
otonomi daerah dan juga mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan konsep dan peran industri dalam Perekonomian
Indonesia
POKOK BAHASAN
1.
Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
Terdiri dari beberapa sub:
-
Faktor
penyebab ketimpangan pembangunan daerah
-
Pembangunan
Indonesia Bagian Timur
-
Teori
dan analisis Pembangunan Indonesia
2.
Industrialisasi di Indonesia
Terdiri dari beberapa sub:
-
Konsep
dan Tujuan Industrialisasi
-
Faktor-faktor
pendorong Industrialisasi
-
Perkembangan
Sektor Industri Manufaktur Nasional
-
Permasalahan
Industrialisasi
-
Strategi
Pembangunan Sektor Industri
PEMBAHASAN
PEMBANGUNAN
EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH
A. Faktor Penyebab Ketimpangan
Pembangunan Ekonomi Daerah
1. Konsentrasi
Kegiatan ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi
di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah dengan konsentrasi
kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat
ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan
ekonomi yang lebih rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam
pembanguna ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi
hanya terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah
yang sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau
prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya
sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari
daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat
lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa
mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak
dinikmati di Jawa.
Jika keadaan ini terus dibiarkan maka,
daerah di luar pulau Jawa akan rugi dan semakin miskin saja, karena:
Daerah akan kekurangan L yang terampil,
K serta SDA yang dapat diolah untuk keperluan sendiri. Daerah akan semakin sulit dalam
mengembangkan sektor non primer khususnya industri manufaktur, dan akan semakin
sulit mengubah struktur ekonominya yang berbasis pertanian atau pertambangan ke
industri.
Tingkat pendapatan masyarakat di daerah
semakin rendah sehingga pasar output semakin lama, dan menyebabkan perkembangan
investasi di daerah semakin kecil.
2. Alokasi
Investasi (I)
Indikator lain juga yang menunjukkan
pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari
luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori
pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut
menjadi rendah, karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti
industri manufaktur. Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak
faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama
sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), Konsentrasi penduduk di Jawa dan
keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran sumber
daya alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang terbatas
dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang
relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang tersedia di alam
dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia.
3. Mobilitas
antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah
pertanda semakin majunya suatu negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan
ilegal. Ketika sebuah negara semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya
naik ke posisi ekonomi lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas).
Fenomena “move up the ladder” ini dengan
sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun
demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini
sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada
di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah. Salah satu
pilar ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor produksi, termasuk
faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif negara tidak menjadi
penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja perpindahan ini perlu ditinjau
dan dikontrol agar tetap teratur.
4. Perbedaan
SDA antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa
pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya
lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya sampai
dengan tingkat tertentu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA
dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga daerah
yang kaya akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang lebih tinggi
juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada (T).Penguasaan T dan
peningkatan taraf SDM semakin penting, maka sebenarnya 2 faktor ini lebih
penting daripada SDA. Memang SDA akan mendukung pembangunan dan perkembangan,
tetapi akan percuma jika memiliki SDA tapi minim dengan T dan SDM.
Pembangunan ekonomi yang efisien
membutuhkan secara seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan
sumber daya publik dan sektor swasta: petani, pengusaha kecil, koperasi,
pengusaha besar, organisasi sosial harus mempunyai peran dalam proses
perencanaan.
5. Perbedaan
Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi
berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor pertanian, ada
yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi
demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah
berbeda-beda. Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah Tegal. Penduduk Kota Tegal
pada tahun 2007 adalah 247,076 jiwa yang terdiri dari laki-laki 123.792 jiwa
(50,10 %) dan perempuan 123,284 jiwa (49,90 %) dengan laju pertumbuhan 0,55 %
per tahun, sedangkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun ) 170.124 jiwa
(68,86 %).
Ternyata kepadatan penduduk rata – rata
di Kota Tegal pada tahun 2007 sebesar 6.193 jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk
tertinggi di Kelurahan Kejambon sebesar 13.723 jiwa/Km² dan kepadatan terendah
di Kelurahan Muarareja sebesar 750 jiwa/Km².
Jumlah penduduk usia kerja di Kota Tegal
tahun 2007 tercatat berjumlah 204.517 dengan jumlah angkatan kerja sebesar
168.575 jiwa atau 82,43 % yang terdiri dari 87.537 jiwa laki-laki dan 81.038
jiwa perempuan. Dari jumlah tersebut 112.660 sudah bekerja dan 55.915 tidak
bekerja.
Mata pencaharian penduduk Kota Tegal
menurut jenis mata pencahariannya adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani
6.457 orang, nelayan 12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh industri 20.310
orang, buruh bangunan 18.704 orang, pedagang 21.887 orang, pengangkutan 6.687
orang, PNS/ABRI 9.223 orang, pensiunan 4.473 orang dan lain-lain 11.930 orang.
Sektor pendidikan merupakan salah satu
prioritas utama kebijakan Pemerintah Kota Tegal, sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan sektor ini
diarahkan kepada penyediaan sarana dan prasarana serta memberikan kemudahan
akses pendidikan kepada masyarakat.
Kebijakan-kebijakan strategis yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal secara bertahap sejak tahun 2000 sampai
dengan saat ini untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan formal antara
lain yaitu pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemberian bea siswa,
pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan lanjutan tingkat I,
penyediaan buku pelajaran serta peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui
pelatihan dan penyetaraan kualifikasi pendidikan guru. Pada tahun 2007 tamatan
pendidikan untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780 jiwa, dan SLTA 3.435 jiwa.
6. Kurang
Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar
daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya
ketidaklancaran tersebut disebabkan karena keterbatasan transportasi dan
komunikasi. Perdagangan antarprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input
perantara, dan bahan baku untuk keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran
perdagangan ini mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi permintaan
(Demand) dan sisi penawaran (Supply). Dari sisi permintaan, kelangkaan akan
barang dan jasa akan berdampak juga pada permintaan pasar terhadap kegiatan eonomi lokal yang
sifatnya komplementer dengan barang tersebut.
Sedangkan dari sisi penawaran, sulitnya memperoleh barang modal seperti mesin,
dapat menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu provinsi menjadi lumpuh,
selanjutnya dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.
B.
Pembangunan
Indonesia Bagian Timur
Hasil
pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan orde baru menunjukkan bahwa
walaupun secara nasional laju pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata per tahun
tinggi namun pada tingkat regional proses pembangunan selama itu telah
menimbulkan suatu ketidak seimbangan pembangunan yang menyolok antara indonesia
bagian barat dan indonesia bagian timur. Dalam berbagai aspek pembangunan
ekonomi dan sosial, indonesia bagian timur jauh tertinggal dibandingkan
indonesia bagian barat.
Tahun
2001 merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan secara
serentak diseluruh wilayah indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah diharapakan
dapat menjadi suatu langkah awal yang dapat mendorong proses pembangunan
ekonomi di indonesia bagian timur yang jauh lebih baik dibanding pada masa orde
baru. Hanya saja keberhasilan pembangunan ekonomi indonesia bagian timur sangat
ditentukan oleh kondisi internal yang ada, yakni berupa sejumlah keunggunlan
atau kekeuatan dan kelemahan yang dimiliki wilayah tersebut.
·
Keunggulan wilayah Indonesia Bagian
Timur
1. Kekayaan sumber daya alam
2. Posisi geografis yang strategis
3. Potensi lahan pertanian yang cukup luas
4. Potensi sumber daya manusia
Sebenarnya
dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki indonesia bagian timur tersebut,
kawasan ini sudah lama harus menjadi suatu wilayah di Indonesia dimana
masyarakatnya makmur dan memiliki sektor pertanian, sektor pertambangan, dan
sektor industri manufaktur yang sangat kuat. Namun selama ini kekayaan tersebut
disatu pihak tidak digunakan secara optimal dan dipihak lain kekayaan tersebut
dieksploitasi oleh pihak luar yang tidak memberi keuntungan ekonomi yang
berarti bagi indonesia bagian timur itu sendiri.
·
Kelemahan Wilayah Indonesia Bagian Timur
Indonesia bagian tinur juga memiliki bagian
kelemahan yang membutuhkan sejumlah tindakan pembenahan dan perbaikan. Kalau
tidak, kelemahan-kelemahan tersebut akan menciptakan ancaman bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi di kawasan tersebut. Kelemahan yang dimiliki Indonesia bagian
timur diantaranya adalah:
1. Kualitas sumber daya manuasia yang masih
rendah
2. Keterbatasan sarana infrastruktur
3. Kapasitas kelembagaan pemerintah dan publik
masih lemah
4. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan
masih rendah
·
Tantangan dan Peluang
Pembanguanan ekonomi di Indonesia bagian
timur juga menghadapai berbagai macam tantangan, yang apabila dapat
diantisipasi dengan persiapan yang baik bisa berubah menjadi peluang besar.
Salah satu peluang besar yang akan muncul di masa mendatang adalah akibat
liberalisasi perdagangan dan investasi dunia. Liberalisasi ini akan membuka peluang
bagi IBT, seperti juga IBB, untuk mengembangkan aktivitas ekonomi dan
perdagangna yang ada di daerahnya masing- masing.
·
Langkah –langkah yang Harus Dilakukan
Pada era otonomi dan dalam menghadapi
era perdagangan bebas nanti, IBT harus menerapkan suatu strategi pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan yang mendorong pemanfaatan sebaik-baiknya semua
keunggulan–keunggulan yang dimiliki kawasan tersebut tanpa eksploitasi yang
berlebihan yang dapat merusak lingkungan. Dalam new development paradigma ini, ada sejumlah langkah yang harus
dilakukan, diantaranya sebagai berikut.
1. Kualitas
sumber daya manusia harus ditingkatkan secara merata di seluruh daerah di IBT. Peningkatan kualitas sumber daya
manusia harus merupakan prioritas utama dalam kebijakan pembangunanekonomi dan
sosial di IBT. Untuk maksud ini, kebijakan pendidikan, baik pada tingkat
nasional maupun daerah, harus diarahkan pada penciptaan sumber daya manusia
berkualitas tinggi sesuai kebutuhan setiap kawasan di Indonesia. IBT harus
memiliki ahli-ahli khususnya dibidang kelautan, perhutanan, peternakan,
pertambangan, industri, pertanian,dan perdagangan global.
2. Pembangunan
sarana infrastuktur juga harus merupakan prioritas utama, termasuk pembangunan
sentra-sentra industri dan pelabuhan-pelabuhan laut dan udara di
wilayah-wilayah IBT yang berdasarkan nilai ekonomi memiliki potensi besar untuk
dikembangkan menjadi entreport.
3. Kegiatan-kegiatan
ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif berdasarkan kekayaan sumber daya
alam yang ada harus dikembangkan seoptimal mungkin, di antaranya adalah sektor
pertanian dan sektor industri manufaktur. Setiap daerah/provinsi IBT harus
berspesialisasi dalam suatu kegiatan ekonomi yang sepenuhnya didasarkan pada
keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing daerah atau provinsi.
4. Pembangunan
ekonomi di IBT harus dimonitori oleh industrialisasi yang dilandasi oleh
keterkaitan produksi yang kuat antara industri manufaktur dan sektor-sektor
primer, yakni pertanian dan pertambangan.
C.
Teori
dan Analisis Pembangunan
di Indonesia
Teori Pembangunan
Teori-teori pembangunan dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian, yaitu teori modernisasi, tahap dependensi dan teori sistem dunia.
1.
Teori
Moderenisasi
Teori ini muncul di Amerika Serikat yang mengaplikasikannya
dalam program Marshal Plan. Teori modern dibagi menjadi teori modern klasik dan
teori modern baru.
Teori modern klasik memberikan pembenaran mengenai hubungan
yang bertolak belakang antara masyarakat tradisional dan modern. Teori ini
menyoroti bahwa negara dunia ketiga merupakan negara terbelakang dengan
masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara Barat dilihat sebagai negara
modern. Teori ini memberikan saran bahwa negara-negara berkembang harus
meninggalkan nilai-nilai tradisionalnya agar dapat keluar dari berbagai
permasalahan, seperti kemiskinan. Teori ini juga menilai ideologi komunisme
sebagai ancaman pembangunan negara Dunia Ketiga. Satu hal yang menonjol dari
teori modernisasi klasik ini adalah, modernisasi lebih menekankan faktor
internal sebagai akibat dari masalah dalam masyarakat itu sendiri. Teori modern
baru kemudian mengkritik seluruh jawaban dari teori modernisasi klasik. Hal ini
dikarenakan teori modernisasi klasik terlalu berorientasi ke Barat, terlalu
optimis, mensahkan dominasi Barat di dunia ketiga, dan menolak tradisi. Teori
modern baru ini berasumsi bahwa tradisi dapat memberikan pengaruh positif
terhadap perkembangan ekonomi. Karena pola pembangunan ini tidak memberi
kepuasan, maka kemudian lahir teori ketergantungan/dependensi, yang memiliki
sisi pandang dari negara- negara dunia ketiga yang berada dalam posisi
tergantung terhadap negara-negara maju.
2.
Teori Dependensi
Teori ini menitikberatkan
pada persoalan keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Teori ini mewakili suara negara-negara
pinggiran untuk menantang hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual
dari negara maju. Teori ini menyatakan bahwa karena sentuhan modernisasi itulah
negara-negara dunia ketiga kemudian mengalami kemunduran (keterbelakangan).
Secara ekstrim, dikatakan bahwa kemajuan atau kemakmuran dari negara-negara
maju pada kenyataannya menyebabkan keterbelakangan dari negara-negara lainnya.
Hal ini dilihat dari kegagalan program dari Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika
Latin (KEPBBAL) pada awal 1960-an. Program ini dimulai tahun 1950-an saat
banyak negara Amerika Latin menerapkan strategi pembangunan yang
menitikberatkan pada proses industrialisasi melalui program Industrialisasi
Substitusi Import (ISI). Strategi pembangunan tersebut diterapkan dengan
harapan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pemerataan hasil
pembangunan. Namun, yang muncul kemudian adalah terjadinya stagnasi ekonomi
yang ditandai dengan adanya masalah pengangguran, inflasi, devaluasi, penurunan
nilai perdagangan, dan lainnya. Kondisi ini menimbulkan gerakan perlawanan dari
rakyat dan tumbangnya pemerintahan di beberapa negara. Secara filosofis, teori
dependensi memiliki kehendak untuk meninjau kembali pengertian dari
pembangunan. Pembangunan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses
industrialisasi, peningkatan output, dan peningkatan produktivitas. Bagi
teori dependensi, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar
hidup bagi setiap penduduk di negara Dunia Ketiga. Dengan kata lain,
pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elit
dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, para pencari kerja, dan kelas
sosial lainnya yang membutuhkan bantuan.
3.
Teori Sistem Dunia
Teori ini memiliki pandangan bahwa dunia merupakan sebuah
sistem yang sangat kuat yang mencakup seluruh negara di dunia, yaitu sistem
kapitalisme. Di dalam teori ini, adanya bentuk hubungan negara dalam sistem
dunia yang terbagi dalam tiga bentuk negara, yaitu negara sentral, negara semi
pinggiran, dan negara pinggiran. Ketiga bentuk negara tersebut terlibat dalam
hubungan yang harmonis secara ekonomis dan kesemuanya memiliki tujuan untuk
menuju pada bentuk negara sentral yang mapan secara ekonomi. Perubahan status
negara pinggiran menuju negara semi pinggiran ditentukan oleh keberhasilan
negara pinggiran dalam melaksanakan salah satu strategi pembangunan, yaitu
strategi menangkap dan memanfaatkan peluang, strategi promosi dengan undangan,
dan strategi berdiri di atas kaki sendiri. Sedangkan upaya negara semi
pinggiran menuju negara sentral bergantung pada kemampuan negara semi pinggiran
dalam melakukan perluasan pasar serta pengenalan teknologi modern. Selain itu,
juga memiliki kemampuan untuk bersaing di pasar internasional melalui perang
harga dan kualitas.
Analisis Teori Pembangunan
1.
Analisis
Teori Moderenisasi
Teori
modernisasi tidak cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan konsep
pembangunan masyarakat dengan teori modernisasi ini kurang mendasar pada
masyarakat Indonesia. Modernisasi identik dengan pertumbuhan ekonomi, dan
melupakan budaya yang membangun kehidupan masyarakat. Masyarakat menerima
berbagai perubahan di dalam kehidupannya sebagai akibat dari modernisasi,
seperti gaya hidup, fasilitas-fasilitas modern seperti mall, diskotik, cafe,
dan lain sebagainya. Sementara di tengah-tengah perubahan yang terjadi,
masyarakat belum mampu untuk meninggalkan bentuk-bentuk tradisi lamanya.
Akibatnya, timbul ketimpangan sosial dalam masyarakat tersebut.
Menurut
teori modernisasi, masyarakat Indonesia pada umumnya belum siap untuk melakukan
pembangunan secara menyeluruh. Proses pembangunan terhambat oleh nilai-nilai
budaya dan mentalitas masyarakat Indonesia, seperti nilai budaya yang tidak
mementingkan mutu atau prestasi, tidak mampu meninggalkan otoritas tradisinya,
menganggap hidup selaras dengan alam sehingga timbul konsep tentang nasib,
tidak disiplin, kurang bertanggungjawab, tidak berani menanggung resiko, dan
lain-lain. Inilah sebabnya negara Indonesia sebagai negara dunia ketiga
mengalami keterbelakangan. Di sini terlihat jelas bahwa teori modernisasi ini
tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia.
2.
Analisis
Teori Dependensi
Teori
dependensi atau ketergantungan. Jika dikaitkan dengan teori ini, pembangunan di
Indonesia bisa saja, yaitu dengan menggantungkan pembiayaannya dari batuan luar
negeri, dinama negara pemberi bantuan tersebut dinamakan negara pusat, sebagai
modal asing. Pemberian modal asing ini merupakan sesuatu yang diharuskan bagi
negara pusat untuk membantu kemajuan Indonesia. Namun, dalam kenyataannya,
pemberian bantuan tersebut tidak sejalan dengan tujuan awal yang telah
disepakati oleh negara-negara pusat. Pemberian modal asing ini dijadikan
sebagai jalan bagi negara-negara maju untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besar dari negara yang mendapat bantuan, seperti Indonesia. Dampak dari
konsekuensi dari pemberian bantuan, berupa eksploitasi sumberdaya alam dan pengambilan
keuntungan lainnya dari proses pembangunan, menjadikan Indonesia secara
perlahan semakin terpuruk kedalam jurang kemiskinan, dikarenakan utang yang
membebani semakin banyak. Kekayaan alam
yang melimpah di tanah air Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal,
dikarenakan posisi lemah sebagai negara yang memiliki hutang pada negara-negara
maju. PT. Freeport di Papua, sebagai contoh, telah megeksploitasi hampir
seluruh sumberdaya mineral berharga yang terdeposit di Papua untuk kepentingan
negaranya. Ini contoh kerugian besar bagi bangsa Indonesia, akibat dependensi
terhadap bantuan luar negeri. Di sini terlihat jelas pula, bahwa teori
dependensi ini tidak menguntungkan Indonesia.
3.
Analisis
Teori sistem dunia
Dalam teori ini negara di dunia dibagi atas tiga bentuk
negara, yaitu: negara sentral, negara semi pinggiran dan negara pinggiran.
Teori ini mengasumsikan hubungan harmonis secara ekonomi yang terjadi di antara
negara-negara yang terlibat, yang memberikan kesempatan kepada dua kelompok negara,
yaitu semi pinggiran dan pinggiran untuk dapat merubah statusnya menjadi negara
sentral yang mapan secara ekonomi. Perubahan status negara pinggiran menuju semi pinggian
ditentukan oleh keberhasilan negara-negara tersebut melaksanakan strategi
menangkap dan memanfaatkan peluang, dan strategi lainnya dalam proses
pembangunannya. Sementara itu, upaya yang harus dilakukan oleh negara semi
pinggiran untuk dapat menuju negara sentral, adalah memperluas pasar dengan
memperkenalkan teknologi modern, dan mampu mempersaingkan produknya dari segi
harga dan kualitas.
Secara umum, Indonesia masih berada dalam kategori negara
pinggiran. Karena dari segi kegiatan produksi, hampir 90% bahan bakunya
bergantung pada import. Dengan demikian, kemampuan untuk berperang dari segi
harga dan kualitas dengan produk luar negeri masih sangat rendah. Sektor
industri yang tumbuh di Indonesia didominasi oleh perusahaan asing yang
mengoperasikan produksinya di Indonesia, dikarenakan ketersediaan bahan dasar
(raw materials) yang siap diolah menjadi bahan baku oleh perusahaan mereka
sendiri dan rendahnya upah tenga kerja lokal.
Indonesia belum mampu secara mandiri mengolah sumberdaya
alamnya menjadi produk antara (intermediate products) dan bahkan produk barang
jadi. Konsekuensinya, hampir semua kegiatan produksi masih bergantung pada
supply produk luar negeri. Walaupun demikian, dengan teori sistem dunia,
Indonesia masih punya harapan untuk mendapatkan peluang lebih baik, yaitu
mandiri di sektor bahan baku industri dan tidak hanya bertindak sebagai pasar
bagi bertubi-tubinya produk asing datang ke dalam negeri ini. Dengan memperkuat
kemampuan pengolahan sumberdaya alam yang ada, melaksanakan regulasi yang
kondusif bagi usaha dalam negeri, maka peluang Indonesia dari yang berkategori negara
pinggiran dapat bangkit menjadi negara semi pinggiran bahkan menjadi negara
sentral yang maju dan berdaulat secara ekonomi.
Dari ketiga teori yang telah dibahas diatas, teori sistem
dunia merupakan harapan Indonesia untuk memperoleh peluang mendapatkan posisi
yang lebih baik untuk menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik pula.
INDUSTRIALISASI DI INDONESIA
A.
Konsep
Dan Tujuan Industrialisasi di Indonesia
Dalam sejarah pembangunan ekonomi, konsep industrialisasi
berawal dari revolusi industry pertama pada pertengahan abad 18 di Inggris
dengan penemuan metode baru untuk pemintalan dan penenunan kapas yang
menciptakan spesialisasi dalam produksi dan peningkatan produktivitas dari
factor produksi yang digunakan. Setelah itu, inovasi dan penemuan baru dalam
pengolahan besi dan mesin uap yang mendorong inovasi dalam pembuatan antara
lain besi baja, kereta api dan kapal tenaga uap.
Revolusi industry kedua akhir abad 18 dan awal abad 19 dengan
berbagai perkembangan teknologi dan inovasi membantu laju industrialisasi.
Setelah PD II muncul berbagai teknologi baru seperti produksi masal dengan
menggunakan assembly line, tenaga listrik, kendaraan bermotor, penemuan barang
sintetis dan revolusi teknologi komunikasi, elektronik, bio, computer dan
penggunaan robot.
Awal konsep industrialisasi adalah Revolusi industri
abad 18 di Inggris kemudian Penemuan metode baru dalam pemintalan
dan penemuan kapas yg menciptakan spesialisasi produksi dan peningkatan
produktivitas factor produksi. Industrialisasi adalah suatu proses interkasi
antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur
ekonomi.
Industrialisasi merupakan salah satu
strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya beberapa
Negara dengan penduduk sedikit & kekayaan alam melimpah seperti Kuwait
& libya ingin mencapai pendapatan yang tinggi tanpa industrialisasi.
Tujuan pembangunan industri nasional
baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasi
permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi
permasalahan secara nasional, yaitu :
1.
Meningkatkan
penyerapan tenaga kerja industri.
2.
Meningkatkan
ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri.
3.
Memberikan
sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian.
4.
Mendukung
perkembangan sektor infrastruktur.
5.
Meningkatkan
kemampuan teknologi.
6.
Meningkatkan
pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk.
7.
Meningkatkan
penyebaran industri.
B.
Faktor Faktor Pendorong
Industrialisasi di Indonesia
1. Kondisi dan Struktur Awal Ekonomi
dalam Negeri
Suatu
Negara yang pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya sudah
memiliki industri-industri primer atau hulu seperti besi dan baja, semen,
petrokimia, dan industri-industri tengah(Antara hulu dan hilir), seperti
industri barang modal(mesin) dan alat-alat produksi yang relatif kuatakan
mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan Negara yang
hanya memiliki industri-industri hilir atau ringan.
2. Besarnya Pasar dalam Negeri yang
Ditentukan Oleh Kombinasi Antara Jumlah Populasi dan Tingkat PN Riil Per Kapita
Pasar
dalam negeri yang besar, seperti Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari
200 juta orang merupakan salah satu faktor perangsang bagi pertumbuhan
kegiatan-kegaiatan ekonomi, termasuk industri, karena pasar yang besar menjamin
adanya skala ekonomis dan efisiensi dalam proses produksi(dengan asumsi bahwa
faktor-faktor penentu lainnya mendukung). Jika pasar domestic kecil, maka
ekspor merupakan alternatif satu” nya untuk mencapai produksi optimal.
3. Ciri Industrialisasi
Yang
dimaksud disini adalah antara lain cara pelaksanaan industrialisasi, seperti
misalnya tahapan dari dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola
pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan, termasuk insentif
kepada investor.
4. Keberadaan SDA
Ada
kecenderungan bahwa Negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju
pertumbuhan ekonominya relatif lebih rendah, dan Negara tersebut cenderung
tidak atau terlembat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan relatif
lebih lambat dibandingkan Negara-negara yang miskin SDA.
5. Kebijakan dan Strategi Pemerintah
Pola
industrialisasi di Negara yang menerapkan kebijakan subtitusi impor dan
kebijakan perdagangan luar negeri yang protektif(seperti Indonesia terutama
selama pemerintahan Orde Baru hingga krisis terjadi) berbeda dengan di Negara
yang menerapkan kebijakan promosi ekspor dalam mendukung industri nya.
C.
Perkembangan Sektor Industri Manufaktur
Nasional
Untuk melihat sejauh mana
perkembangan industry manufaktur di Indonesia selama ini, perlu dilihat
perbandingan kinerjanya dengan sector yang sama di Negara-negara lain. Dalam
kelompok ASEAN, misalnya kontribusi output dari sector industry manufaktur
terhadap pembentukan PDB di Indonesia masih relative kecil, walaupun laju
pertumbuhan output rata-ratanya termasuk tinggi di Negara-negara ASEAN lainnya.
Struktur ini menandakan Indonesia belum merupakan Negara dengan tingkat
industrialisasi yang tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand.
Untuk memberdayakan ekonomi rakyat,
pemerintah dapat mengarahkan langkah strategis di bidang perindustrian dengan
mengembangkan industri-industri rakyat yang terkait dengan industry besar.
Industri-industri kecil dan menengah yang kuat menjadi tulang punggung industry
nasional. Dalam realisasinya, proses industrialilasinya harus mengarah ke
daerah pedesaan dengan memanfaatkan potensi setempat yang umumnya agro
industri. Di sinilah perlunya, penguasaan teknologi tepat guna.
Namun dalam proses ini harus
dihindari penggusuran ekonomi rakyat dengan perluasan industri berskala besar yang mengambil lahan-lahan subur, merusak
lingkungan, menguras sumber daya alam dan mendatangkan tenaga kerja dari luar.
Hal-hal demikian dapat menimbulkan luka dihati rakyat daerah yang bersangkutan.
Bangkitnya konsep ekonomi kerakyatan
memang menuntut ketersediaan teknologi tepat guna yang sifatnya sederhana,
handal, dan tidak capital intensif. Teknologi tepat guna ini diharapkan mampu
memberdayakan banyak usaha/industri kecil dan menengah serta koperasi untuk
ikut ambil bagian dalam proses ekonomi produktif. Sebagai perbandingan, di RRC
dan India, teknologi tepat guna secara ekstensif digunakan untuk mengolah
hasil-hasil pertanian. Di Indonesia juga membutuhkan pemanfaatan serupa.
Produk-produk agrobisnis; pertanian dan perkebunan diyakini membutuhkan
teknologi tepat guna agar dapat diproses oleh usaha/industry kecil dan
menengah.
Ada dua manfaat sekaligus yang dapat
dipetik dalam pengembangan teknologi tepat guna. Pertama, industri teknologi
tepat guna tumbuh, masyarakat menguasai seni membuat produk teknologi tepat
guna. Budaya teknologi, pada gilirannya, tumbuh dan melekat pada sebagian
masyarakat. Ini penting guna menjadi pijakan saat bangsa tersebut ingin
melangkah menjadi bangsa yang berteknologi canggih. Kedua, kecakapan membuat
teknologi tepat guna menghasilkan penguasaan proses produksi selain produk yang
unggul dikelasnya. Selain bisa memenuhi kebutuhan sendiri, produk ini laku
sebagai komoditas ekspor.
Pengembangan teknologi tepat guna
juga penting untuk meningkatkan produk usaha kecil dan menengah yang bergerak
di bidang industri rumah tangga (home industry). Peningkatan produk juga akan
menambah peningkatan keuntungan industri. Selanjutnya hal ini akan membawa
berkah bagi peningkatatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang
bersangkutan.
Sedikit
sekali negara-negara berkembang yang menyadari bahwa usaha untuk memajukan dan
memperluas sector industry haruslah sejajar dengan pembangunan dan pengembangan
sector-sektor lain, terutama sector pertanian. Sector pertanian yang lebih maju
dibutuhkan oleh sector industri, baik sebagai
penyedia masukan maupun sebagai pasar bagi produk-produk industri setiap peningkatan daya beli petani akan merupakan
rangsangan bagi pembangunan sector industry pula. Jadi, kelancaran program
industrialisasi sebetulnya bergantung pula pada perbaikan-perbaikan di
sector-sektor lain, dan seberapa jauh perbaikan-perbaikan yang dilakukan mampu
mengarahkan dan bertindak sebagai pendorong bagi kemunculan industry-industri
baru. Dengan cara demikianlah kebijaksanaan yang ditempuh akan dapat mewujudkan
mekanisme saling dukung antarsektor. Dalam dialetika-sektoral
pertanian-industri, itu berarti bahwa harus tercipta suatu keadaan dengan mana
surplus tenaga kerja di sector pertanian dapat tertarik ke sector industry agar
sector pertanian menjadi lebih efisien, sehingga dapat menjadi pasar yang lebih
efektif bagi sector industri.
D. Permasalahan Industrialisasi
Kendala bagi pertumbuhan industri di dalam negeri adalah ketergantungan
terhadap bahan baku serta komponen impor. Mesin-mesin produksi yang sudah tua
juga menjadi hambatan bagi peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Permasalahan-permasalahan tersebut telah menurunkan daya saing industri
dalam negeri. Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasinya. Responsnya
adalah dibuat Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri. Namun, fakta di lapangan jauh dari
harapan. Regulasi pemerintah pusat tak seiring dengan regulasi pemerintah
daerah. Bahkan, di antara kementerian teknis bukan kebijakan
sendiri-sendiri.Tahun 2010-2014, Kementerian Perindustrian menargetkan
pertumbuhan industri nonmigas 8,95 persen dan kontribusi industri pengolahan
terhadap produk domestik bruto 24,67 persen. Ditargetkan total investasi
2010-2014 mencapai Rp 735,9 triliun.
Untuk mencapai target itu, Kementerian Perindustrian membuat kerangka
pembangunan industri nasional. Kerangka itu yang akan menjadi acuan untuk
membangkitkan industri agar siap menghadapi perdagangan bebas dan ASEAN
Economic Community.
Agar siap menghadapi itu semua, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) Anton Supit, peningkatan daya saing menjadi kunci utama. Leadership,
mulai dari presiden hingga pejabat pemerintah lainnya, yang mau mengenakan
produk dalam negeri juga tidak boleh diabaikan.
Masalah dalam industri manufaktur nasional:
1)
Kelemahan struktural
-
Basis ekspor & pasar masih sempitè walaupun Indonesia mempunyai
banyak sumber daya alam & TK, tapi produk & pasarnya masih
terkonsentrasi:
1.
Terbatas pada empat produk (kayu
lapis, pakaian jadi, tekstil & alas kaki)
2.
Pasar tekstil & pakaian jadi
terbatas pada beberapa negara
3.
Produk penyumbang 80% dari ekspor
manufaktur indonesia masih mudah terpengaruh oleh perubahan permintaan
produk di pasar terbatas
4.
Banyak produk manufaktur terpilih
padat karya mengalami penurunan harga muncul pesaing baru seperti cina
& vietman
5. Produk manufaktur tradisional menurun daya saingnya sbg akibat
factor internal seperti tuntutan kenaikan upah
-
Ketergantungan impor sangat tinggi
Tahun 1990, Indonesia menarik banyak PMA untuk industri berteknologi tinggi
seperti kimia, elektronik, otomotif, dsb, tapi masih proses penggabungan,
pengepakan dan assembling dengan hasil:
1. Nilai impor bahan baku, komponen & input perantara masih tinggi
diatas 45%
2.
Industri padat karya seperti tekstil, pakaian jadi & kulit bergantung
kepada impor bahan baku, komponen
& input perantara masih tinggi.
3.
PMA sector manufaktur masih
bergantung kepada suplai bahan baku & komponen dari LN
4.
Peralihan teknologi (teknikal,
manajemen, pemasaran, pengembangan organisasi dan keterkaitan eksternal)
dari PMA masih terbatas
5. Pengembangan produk dengan merek sendiri dan pembangunan jaringan pemasaran masih terbatas
-
Tidak ada industri berteknologi menengah
1.
Kontribusi industri berteknologi
menengah (logam, karet, plastik, semen) thd pembangunan sektor industri
manufaktur menurun tahun 1985 -1997.
2.
Kontribusi produk padat modal
(material dari plastik, karet, pupuk, kertas, besi & baja) thd ekspor
menurun 1985 –1 997
3. Produksi produk dg teknologi rendah berkembang pesat.
-
Konsentrasi regional
Industri menengah & besar terkonsentrasi di Jawa.
2)
Kelemahan organisasi
-
Industri kecil & menengah masih terbelakangèproduktivtas rendahèJumlah
Tk masih banyak (padat Karya)
-
Konsentrasi Pasar
-
Kapasitas menyerap & mengembangkan teknologi masih lemah
-
SDM yang lemah
E.
Strategi
Pembangunan Sektor Industri
Era globalisasi ekonomi yang disertai dengan pesatnya
perkembangan teknologi, berdampak sangat ketatnya persaingan dan cepatnya
terjadi perubahan lingkungan usaha. Produk-produk hasil manufaktur di dalam
negeri saat ini begitu keluar dari pabrik langsung berkompetisi dengan produk
luar, dunia usaha pun harus menerima kenyataan bahwa pesatnya perkembangan
teknologi telah mengakibatkan cepat usangnya fasilitas produksi, semakin singkatnya
masa edar produk, serta semakin rendahnya margin keuntungan. Dalam melaksanakan
proses pembangunan industri, keadaan tersebut merupakan kenyataan yang harus
dihadapi serta harus menjadi pertimbangan yang menentukan dalam setiap
kebijakan yang akan dikeluarkan, sekaligus merupakan paradigma baru yang harus
dihadapi oleh negara manapun dalam melaksanakan proses industrialisasi
negaranya.
Atas dasar pemikiran tersebut kebijakan dalam pembangunan
industri Indonesia harus dapat menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia dan
mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan
internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus
strategi pembangunan industri pada masa depan adalah membangun daya saing sektor
industri yang berkelanjutan di pasar domestik.
Dalam situasi yang seperti itu, maka untuk mempercepat
proses industrialisasi, menjawab tantangan dari dampak negatif gerakan
globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia, serta mengantisipasi perkembangan
di masa yang akan datang, pembangunan industri nasional memerlukan arahan dan
kebijakan yang jelas. Kebijakan yang mampu menjawab pertanyaan, kemana dan
seperti apa bangun industri Indonesia dalam jangka menengah, maupun jangka
panjang.
Untuk menjawab dan mengantisipasi berbagai masalah, issue,
serta tantangan di atas, Departemen Perindustrian telah menyusun Kebijakan
Pembangunan Industri Nasional yang telah disepakati oleh berbagai pihak
terkait, dimana pendekatan pembangunan industri dilakukan melalui Konsep
Klaster dalam konteks membangun daya saing industri yang berkelanjutan. Sesuai
dengan kriteria daya saing yang ditetapkan untuk kurun waktu jangka menengah
(2005-2009) telah dipilih pengembangan klaster industri inti termasuk
pengembangan industri terkait dan industri penunjang.
Strategi Industrialisasi
1.
Strategi Subtitusi Impor
-
Lebih menekankan pada pengembangan industry yang berorientasi
pada pasar domestic
-
Strategi subtitusi impor adalah industry domestic yang
membuat barang menggantikan impor
-
Dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industry dalam negeri
yang memproduksi barang pengganti impor
Pertimbangan yang lajim digunakan dalam memilih
strategi ini adalah:
a.
SDA dan factor produksi lain (terutama tenaga kerja)
cukup tersedia
b.
Potensi permintaan dalam negeri memadai
c.
Pendorong perkembangan sector industry manufaktur
dalam negeri
d.
Dengan perkembangan industry dalam negeri, kesempatan
kerja lebih luas
e.
Dapat mengurangi ketergantungan impor
2.
Penerapan strategi subtitusi impor dan hasilnya di Indonesia
-
Industry manufaktur nasional tidak berkembang baik
selama orde baru
-
Ekspor manufaktur Indonesia belum berkembang dengan
baik
-
Kebijakan proteksi yang berlebihan selama orde baru
menimbulkan high cost economy
-
Teknologi yang digunakan oleh industry dalam negeri,
sangat diproteksi
3.
Strategi Promosi Ekspor
-
Lebih berorientasi ke pasar internasional dalam
pengembangan usaha dalam negeri
-
Tidak ada diskriminasi dalam pemberian insentif dan
fasilitas kemudahan lainnya dari pemerintah
-
Dilandasi pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dapat dicapai jika produk yang dibuat di dalam negeri
dijual di pasar ekspor
-
Strategi promosi ekspor mempromosikan fleksibilitas
dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola
keunggulan komparatif
4.
Kebijakan industrialisasi
-
Dirombaknya system devisa sehingga transaksi luar
negeri lebih bebas dan sederhana
-
Dikuranginya fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi
perusahaan Negara dan kebijakan pemerintah untuk mendorong
pertumbuhan sector swasta bersama-sama dengan BUMN.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar