Kebutuhan masyarakat maupun pelaku bisnis akan
internet semakin tinggi sehingga perkembangan teknologi pada internet pun
semakin berkembang pesat. Mengakses sesuatu menjadi lebih mudah dengan adanya
internet baik itu mengakses informasi untuk kebutuhan pribadi maupun kebutuhan
bagi organisasi/bisnis.
Dalam mencari informasi yang dibutuhkan, internet
memegang peranan yang penting dalam setiap aspek kehidupan manusia dan menjadi
salah satu sumber informasi yang paling banyak digunakan dan diandalkan oleh
setiap orang baik individu maupun organisasi, tanpa dibatasi oleh ruang dan
waktu.
Pada
Era Society 5.0 internet bukan hanya digunakan untuk sekedar berbagi informasi
melainkan untuk menjalani kehidupan, karena semua teknologi adalah bagian dari
manusia itu sendiri. Dimana masyarakat dapat menyelesaikan berbagai tantangan
dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era
sebelumnya yaitu era Revolusi industri 4.0 seperti Internet of Things (IoT),
Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah
besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Dibalik
kemudahan yang ditawarkan pada era Society 5.0, Manusia dan Big Data sebagai komponen
penting yang membawa tantangan serta resiko. Salah satu tantangan serta resiko
terbesar yang selalu menjadi masalah utama adalah masalah privasi.
Perkembangan
teknologi dan internet dapat memberikan manfaat, mempermudah dan mempercepat
akses informasi yang kita butuhkan dalam segala hal, serta dapat mengubah model
perekonomian dan model berbisnis. Tetapi perkembangan teknologi dan internet
yang semakin pesat serta kemudahan akses internet juga dapat membuka peluang
bagi pelaku-pelaku tindak kejahtan untuk melakukan tindak kejahan berbasis computer
seperti cyberterrorism, hacking, cybercrime, cyberespionage, dan
lain-lain.
Mitnick
& Simon menyatakan bahwa manusia merupakan factor utama dan penting dalam
pengamanan informasi selain teknologi, karena manusia merupakan rantai terlemah
dalam rantai kemanan. Hal ini menyebabkan manusia sebagai pengguna internet
perlu selalu dibina dengan baik agar segala bentuk ancaman kemanan informasi
dapat dihindari, dengan memiliki kesadaran kemanan informasi dan harus selalu
waspada dalam menjaga kemanan informasi mereka di internet.
Selain
itu Big Data dalam jumlah besar memang ‘menggoda’ untuk disalahgunakan oleh manusia
yang ingin melakukan tindak kejahatan, terlebih lagi saat ini belum terdapat
batasan yang jelas terkait privasi dalam Big Data yang diatur dalam peraturan
formal atau undang-undang.
Neil M. Richards dan Jonathan H. King membagi privasi dalam Big Data ke dalam empat katagori yaitu perlindungan untuk identitas (identity), kesetaraan (equality), keamanan (security), dan kepercayaan (trust).
1. Identitas (identity)
Dalam hal ini, perlindungan indentitas (identity) dalam Big Data mencegah rekomendasi yang diberikan berdasarkan analisis perilaku dan kesukaan individu kemudian membatasi ruang gerak maupun pencarian pengetahuan dan informasi. Big Data memungkinkan perusahaan untuk lebih memahami pesaing dan pelanggan mereka serta memungkinkan pemerintah lebih transparan atas kegiatan baik non-warga negara dan warga negara. Namun, pengawasan semacam ini dapat menyebabkan penyalahgunaan informasi untuk mempengaruhi, mencegah atau mengendalikan.
2. Kesetaraan (equality)
Pada satu sisi, analisis Big Data memungkinkan penyortiran yang efisien, namun di sisi lain batas antara “pengelompokan” dan “diskriminasi” menjadi hal yang rentan dan berbahaya. Hal ini disebabkan karena informasi konsumen dikombinasikan dengan pembuatan keputusan yang digerakkan oleh algoritma otomatis, dapat mengarah ke hasil yang diskriminatif, atau yang sering disebut sebagai digital redlining. Sehingga, aturan privasi Big Data dalam hal kesetaraan (equality) meliputi pembatasan pengumpulan, transparansi algoritmik dan akuntabilitas, dan pembatasan penggunaan analitik untuk menyortir dan memperlakukan orang secara berbeda.
3. Keamanan (security)
Dalam masyarakat digital, privasi tidak dapat ada tanpa keamanan (security) dan keamanan (security) tidak dapat ada tanpa privasi. Dengan kemudahan berpindahnya data dari pihak ke pihak yang lain, perlu adanya pencegahan terjadinya rekayasa data. Selain itu, kualitas data juga perlu dijaga. Sehingga diperlukan adanya suatu mekanisme untuk menjaga integritas data dan mencegah terjadinya rekayasa informasi individu. Karena itu, aturan tata-kelola informasi individu tidak dilepaskan dari permasalahan keamanan informasi.
4. Kepercayaan (trust)
Dalam
lingkungan digital di mana identitas dapat dengan mudahnya tersebar luas dan
segala sesuatu tampaknya dapat dinegosiasikan dan diperebutkan, aturan privasi
menciptakan kepercayaan, yang memungkinkan hubungan jangka panjang yang stabil
untuk berkembang. Ketika pengguna percaya bahwa informasi yang dimiliki tidak
akan disalahgunakan atau disalahgunakan, pengguna akan berbagi lebih banyak
informasi, lebih bebas, dan lebih akurat. Sehingga dapat dikatakan bahwa
privasi dapat meningkatkan kepercayaan-kepercayaan pada sistem, kepercayaan
pada jaringan, dan kepercayaan pada hubungan antara individu dan entitas yang memegang
data individu.
Neil M. Richards dan Jonathan H. King juga menyarankan beberapa cara untuk menjaga privasi, di mana privasi sebagai aturan informasi dapat dilakukan dalam masyarakat jaringan digital, yang terdiri dari:
1. Regulation
Regulasi atau aturan yang dibentuk dalam melindungi privasi terdiri atas dua kategori yaitu prosedural (seperti memperkuat transparansi pengolahan) dan substantif. Secara khusus, pemrosesan yang mengancam identitas, kesetaraan, keamanan, integritas data, dan kepercayaan harus diatur dan bila perlu dilarang. Namun, dalam praktiknya, peraturan formal tidak akan mampu mengatasi semua masalah yang kita identifikasi dan hanya mewakili solusi terbaik yang terbatas. Hal ini disebabkan karena perubahan teknologi yang cepat membentuk jeda antara inovasi dan regulasi. Selain itu regulasi formal yang berlebihan dapat memberi dampak pada terbatasnya inovasi yang bisa dilakukan. Sehingga dibutuhkan jenis regulasi lain untuk mengisi sebagian kesenjangan, yaitu dalam bentuk soft regulation.
2. Soft regulation
Soft regulation dalam masyarakat digital dan jaringan global dapat terjadi dari berbagai sumber yang mungkin tak terduga untuk membuat atau mempengaruhi kebijakan peraturan. Selain peraturan formal dan peraturan yang bersumber tidak terduga (soft regulation) dibutuhkan pula sistem aturan privasi yang menggunakan normanorma sosial pada teknologi.
3. Big Data ethics
Perlu
dikembangkan aturan-aturan etis dalam penggunaan Big Data yang kemudian
diterapkan dan dipatuhi oleh para pemimpin lintas fungsional. Dengan menyamakan
visi tentang etika Big Data, regulasi tersebut dapat membangun kepercayaan dan
secara bertanggung jawab memanfaatkan kekuatan penuh dalam proses Big Data.
REFERENSI:
Danuri,
M., & Suharnawi. (2017). Trend Cyber Crime dan Teknologi Informasi di Indonesia.
INFOKAM No. II Th XIII
Mitnick, K., & Simon, W. (2002). The art
of deception: Controlling the human element of security. New York, New
York: Wiley Publishing.
Richards,
N. M., & King, J. H. (2016). Big Data and the Future For Privacy.
Handbook of Research on Digital Transformations.
Weiss, Stefan. (2009). Privacy Threat Model For Data Portability In Social Network Applications. International Journal of Information Management.