KASUS PERLINDUNDUNGAN KONSUMEN
Nasabah Bank Dirugikan, YLPK Bali: Konsumen Bisa Gugat
Bank
Senin, 25 April 2016 21:13
kamera pengintai di slot personal identification number
(PIN) mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di Bali menjadi perhatian serius
dari Yayasan Lembaga Perlindungan
Konsumen (YLPK) Bali.
Direktur YLPK Bali, I Putu Armaya mengatakan, sebagai nasabah bank atau konsumen layanan
jasa perbankan, mestinya nasabah harus mendapatkan hak atas kenyamanan dan
keamanan dalam pelayanan jasa perbankan.
Ia mempertanyakan bagaimana sistem pengawasan pihak
perbankan sehingga bisa ada ATM yang berisi kamera pengintai pin.
“Pihak perbankan jangan cuci tangan itu adalah kriminal.
Dalam UU Perlindungan Konsumen pihak Perbankan tidak bisa lari dari tanggung
jawab, karena konsumen bisa menggugat pihak bank, dan sudah melanggar di pasal
4 UUPK no 8 tahun 1999,” kata Armaya kepada Tribun Bali, Senin (25/4/2016).
Armaya mengatakan, sanksi pidana dan perdata bisa
menjerat bank yang melalaikan kenyamanan dan keamanan konsumen atau nasabah.
Untuk sanksi pidana, kata dia, hukuman penjara 5 tahun
denda Rp 2 milyar bisa menjerat pihak perbankan.
Ia juga menyarankan agar konsumen yang punya masalah
mengenai layanan perbankan di Bali agar mengadukan ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen).
“Untuk di Bali sudah ada tiga BPSK, yaitu BPSK Kota
Denpasar,BPSK Badung dan BPSK Karangasem. Lembaga ini merupakan peradilan
konsumen berada diluar peradilan umum.
walau ada UU OJK, yang mengatur perlindungan konsumen jasa keuangan,
jangan lupa UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur
pelayanan yg lebih luas yaitu Barang dan atau jasa,” paparnya.
Itu artinya, lanjut Armaya, setiap konsumen yang
mengkonsumsi barang dan jasa tunduk dengan UU Perlindungan Konsumen yakni UUPK no.8 th 1999.
“Jadi konsumen jangan ragu menggugat pelayanan perbankan
yg buruk kepada konsumen, termasuk bertransaksi di ATM,” jelasnya.
Ia juga menyayangkan bahwa semestinya pihak perbankan
mampu memberikan perlindungan kepada konsumen dengan pengawasan secara rutin
dan ketat di setiap ATM.
Menurutnya, jika kedepan pihak perbankan di Bali tidak
mampu meberikan perlindungan kepada nasabah sebagai konsumen, maka hal itu
dapat merusak nama Bali sebagai daerah pariwisata.
“Bisa saja para turis akan was was bertransaksi perbankan
di Bali. Jadi citra Bali juga semakin negatif, dan kunjungan pun menurun,” katanya. (*)
KASUS SENGKETA EKONOMI
Buntut Sengketa Lahan, Ahli Waris Nekat Tembok Akses
Gardu Induk PLN Denpasar
Minggu, 15 Oktober 2017 10:04
Sejumlah tukang sedang mengerjakan penembokan akses masuk
Gardu Induk PLN di Jalan Imam Bonjol, Denpasar, Sabtu (14/10).
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kasus sengketa lahan antara
warga dan pihak PLN (Perusahaan Listrik Negara) berbuntut panjang.
Pihak ahli waris I Gusti Made Mentog yang mengklaim
memiliki tanah seluas 20x210 meter di kawasan Gardu Induk PLN Jalan Imam
Bonjol, Denpasar, menembok akses masuk ke dalam gardu tersebut pada Sabtu
(14/10).
Akibatnya, kendaraan operasional PLN tidak bisa masuk ke
dalam lokasi gardu.
Jika persoalan berlanjut dan akses ke gardu masih
ditembok, pelayanan listrik di Denpasar dan Badung dikhawatirkan bakal
terganggu.
"Sebenarnya kami tidak mau ribut, dan kami sudah
cari win-win solution, tetapi ternyata tidak ada jalan keluarnya. Sebelumnya
kami sudah ke banyak pihak seperti BPN (Badan Pertanahan) Provinsi, BPN Kota,
DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Ombudsman, camat, wali kota, dan kepolisian tapi
tidak diketemukan jalan keluar. Makanya, sekarang kami tembok," kata kuasa
hukum ahli waris, AA Ngurah Agung Semara
Adnyana, saat dijumpai dalam proses penembokan itu kemarin.
Untuk diketahui, kasus sengketa lahan antara ahli waris
yang berasal dari warga Banjar Tampak Gangsul, Desa Dangin Puri Kauh,Denpasar
Utara, dan pihak PLN ini sudah berlangsung sedari tahun 2005 silam.
Agung Semara yang mengaku memiliki hubungan kekeluargaan
dengan ahli waris, menyebut dirinya memegang dokumen sebagai tanda bahwa
klien-nya memang memiliki lahan seluas 60x210 meter di kawasan gardu tersebut.
"Pihak PLN tidak bisa menunjukkan dokumen
kepemilikan. Sementara kami punya bukti dokumen pajak yang kami bayar dari
tahun 1995 sampai 2017 ini," kata Agung Semara, seraya mengungkap pajak
yang dibayar atas lahan di sana sebesar Rp 2,8, sampai Rp 3 juta per tahun.
Pantauan Tribun Bali, sejumlah tukang sudah mulai bekerja
menembok akses masuk gardu listrik yang berisi trafo 60 MVA itu.
Puluhan batako ditumpuk dan diplester sehingga menutup
seluruh akses kendaraan untuk masuk ke dalam gardu.
Terlihat celah yang tersisa cuma seukuran badan orang
dewasa.
"Kami tahu ini fasilitas umum, karena itu kami tetap
memberi jalan sedikit," kata Semara.
Diungkapkan Semara, jika permohonan mereka tidak
dikabulkan untuk mengembalikan lahan dan uang ganti rugi sewa, maka mereka akan
membongkar tembok gardu tersebut.
"Nanti kami bongkar juga tembok di sana untuk bikin
jalan buat tanah kami," kata Semara.
Sementara itu, Manajer PLN APP (Area Pelaksana
Pemeliharaan) Bali, Eka Sudarmaja mengatakan, hingga kemarin pihak PLNmemang
belum memenuhi permintaan pihak ahli waris untuk menunjukkan dokumen
kepemilikan tanah yang diklaim.
Sudarmaja beralasan, dokumen tersebut merupakan rahasia
negara dan baru bisa dibuka ketika sudah berada di ranah pengadilan.
"Kami terus mendorong agar mereka mengajukan gugatan
ke pengadilan, tapi tidak kunjung dilakukan. Menurut saya, ini harus dibawa ke
ranah hukum yang lebih tinggi," kata Eka Sudarmaja.
Pihak PLN kemarin mendatangi Polresta Denpasar guna
melaporkan aksi penembokan yang dilakukan di tempat masuk Gardu Induk Jalan
Imam Bonjol Denpasar itu.
PLN meminta pihak kepolisian bersikap. Menurut PLN,
dengan ditutupnya akses masuk gardu, itu memungkinkan terjadinya gangguan
pelayanan listrik di kawasan Badung Selatan danDenpasar.
Sertifikat kepemilikan dengan catatan konfidensial pun
akhirnya diberikan oleh PLN kepada pihak kepolisian sebagai syarat permohonan
mereka diproses oleh kepolisian.
“Karena ini kan objek vital nasional, objek negara.
Kira-kira apa respons dari kepolisian? Kalau dibiarkan seperti itu dan
dampaknya listrik padam , ya yang penting kan kami sudah melaporkan. Jangan
sampai nanti kami disalahkan kenapa terjadi pemadaman," Eka Sudarmaja
menjelaskan.
Menurut Sudarmaja,
berdasarkan dokumen yang dia pegang, kawasan yang diklaim milik I Gusti Made
Mentog tersebut di dalam sertifikat tercatat atas nama I Gusti Putu Pemecutan.
Itulah sebabnya, mengapa pihak PLN menyebut kasus ini
harus dibawa ke ranah hukum di pengadilan untuk menyelesaikannya.
"Kalau tanah yang diakui oleh mereka itu sudah SHM
(sertifikat hak milik) yang diakui. Yang jelas di SHM itu bukan tanah I Gusti
Made Mentog, tapi mereka mengklaimnya. Yang di SHM, I Gusti Putu Pemecutan.
Karena itu, persoalan ini harus dibawa ke ranah lebih tinggi. Kalau pun nanti
kita dinyatakan bersalah, akan kami terima," katanya.(*)