Minggu, 15 Juli 2018

KASUS PERLINDUNDUNGAN KONSUMEN
Nasabah Bank Dirugikan, YLPK Bali: Konsumen Bisa Gugat Bank
Senin, 25 April 2016 21:13
kamera pengintai di slot personal identification number (PIN) mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di Bali menjadi perhatian serius dari  Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali.
Direktur YLPK Bali, I Putu Armaya mengatakan,  sebagai nasabah bank atau konsumen layanan jasa perbankan, mestinya nasabah harus mendapatkan hak atas kenyamanan dan keamanan dalam pelayanan jasa perbankan.
Ia mempertanyakan bagaimana sistem pengawasan pihak perbankan sehingga bisa ada ATM yang berisi kamera pengintai pin.
“Pihak perbankan jangan cuci tangan itu adalah kriminal. Dalam UU Perlindungan Konsumen pihak Perbankan tidak bisa lari dari tanggung jawab, karena konsumen bisa menggugat pihak bank, dan sudah melanggar di pasal 4 UUPK no 8 tahun 1999,” kata Armaya kepada Tribun Bali, Senin (25/4/2016).
Armaya mengatakan, sanksi pidana dan perdata bisa menjerat bank yang melalaikan kenyamanan dan keamanan konsumen atau nasabah.
Untuk sanksi pidana, kata dia, hukuman penjara 5 tahun denda Rp 2 milyar bisa menjerat pihak perbankan.
Ia juga menyarankan agar konsumen yang punya masalah mengenai layanan perbankan di Bali agar mengadukan ke BPSK  (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen).
“Untuk di Bali sudah ada tiga BPSK, yaitu BPSK Kota Denpasar,BPSK Badung dan BPSK Karangasem. Lembaga ini merupakan peradilan konsumen berada diluar peradilan umum.  walau ada UU OJK, yang mengatur perlindungan konsumen jasa keuangan, jangan lupa UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur pelayanan yg lebih luas yaitu Barang dan atau jasa,” paparnya.
Itu artinya, lanjut Armaya, setiap konsumen yang mengkonsumsi barang dan jasa tunduk dengan UU Perlindungan Konsumen  yakni UUPK no.8 th 1999.
“Jadi konsumen jangan ragu menggugat pelayanan perbankan yg buruk kepada konsumen, termasuk bertransaksi di ATM,” jelasnya.
Ia juga menyayangkan bahwa semestinya pihak perbankan mampu memberikan perlindungan kepada konsumen dengan pengawasan secara rutin dan ketat di setiap ATM.
Menurutnya, jika kedepan pihak perbankan di Bali tidak mampu meberikan perlindungan kepada nasabah sebagai konsumen, maka hal itu dapat merusak nama Bali sebagai daerah pariwisata.
“Bisa saja para turis akan was was bertransaksi perbankan di Bali. Jadi citra Bali juga semakin negatif, dan kunjungan pun menurun,”  katanya. (*)

KASUS SENGKETA EKONOMI
Buntut Sengketa Lahan, Ahli Waris Nekat Tembok Akses Gardu Induk PLN Denpasar
Minggu, 15 Oktober 2017 10:04
Sejumlah tukang sedang mengerjakan penembokan akses masuk Gardu Induk PLN di Jalan Imam Bonjol, Denpasar, Sabtu (14/10).
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kasus sengketa lahan antara warga dan pihak PLN (Perusahaan Listrik Negara) berbuntut panjang.
Pihak ahli waris I Gusti Made Mentog yang mengklaim memiliki tanah seluas 20x210 meter di kawasan Gardu Induk PLN Jalan Imam Bonjol, Denpasar, menembok akses masuk ke dalam gardu tersebut pada Sabtu (14/10).
Akibatnya, kendaraan operasional PLN tidak bisa masuk ke dalam lokasi gardu.
Jika persoalan berlanjut dan akses ke gardu masih ditembok, pelayanan listrik di Denpasar dan Badung dikhawatirkan bakal terganggu.
"Sebenarnya kami tidak mau ribut, dan kami sudah cari win-win solution, tetapi ternyata tidak ada jalan keluarnya. Sebelumnya kami sudah ke banyak pihak seperti BPN (Badan Pertanahan) Provinsi, BPN Kota, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Ombudsman, camat, wali kota, dan kepolisian tapi tidak diketemukan jalan keluar. Makanya, sekarang kami tembok," kata kuasa hukum ahli waris,  AA Ngurah Agung Semara Adnyana, saat dijumpai dalam proses penembokan itu kemarin.
Untuk diketahui, kasus sengketa lahan antara ahli waris yang berasal dari warga Banjar Tampak Gangsul, Desa Dangin Puri Kauh,Denpasar Utara, dan pihak PLN ini sudah berlangsung sedari tahun 2005 silam.
Agung Semara yang mengaku memiliki hubungan kekeluargaan dengan ahli waris, menyebut dirinya memegang dokumen sebagai tanda bahwa klien-nya memang memiliki lahan seluas 60x210 meter di kawasan gardu tersebut.
"Pihak PLN tidak bisa menunjukkan dokumen kepemilikan. Sementara kami punya bukti dokumen pajak yang kami bayar dari tahun 1995 sampai 2017 ini," kata Agung Semara, seraya mengungkap pajak yang dibayar atas lahan di sana sebesar Rp 2,8, sampai Rp 3 juta per tahun.
Pantauan Tribun Bali, sejumlah tukang sudah mulai bekerja menembok akses masuk gardu listrik yang berisi trafo 60 MVA itu.
Puluhan batako ditumpuk dan diplester sehingga menutup seluruh akses kendaraan untuk masuk ke dalam gardu.
Terlihat celah yang tersisa cuma seukuran badan orang dewasa.
"Kami tahu ini fasilitas umum, karena itu kami tetap memberi jalan sedikit," kata Semara.
Diungkapkan Semara, jika permohonan mereka tidak dikabulkan untuk mengembalikan lahan dan uang ganti rugi sewa, maka mereka akan membongkar tembok gardu tersebut.
"Nanti kami bongkar juga tembok di sana untuk bikin jalan buat tanah kami," kata Semara.
Sementara itu, Manajer PLN APP (Area Pelaksana Pemeliharaan) Bali, Eka Sudarmaja mengatakan, hingga kemarin pihak PLNmemang belum memenuhi permintaan pihak ahli waris untuk menunjukkan dokumen kepemilikan tanah yang diklaim.
Sudarmaja beralasan, dokumen tersebut merupakan rahasia negara dan baru bisa dibuka ketika sudah berada di ranah pengadilan.
"Kami terus mendorong agar mereka mengajukan gugatan ke pengadilan, tapi tidak kunjung dilakukan. Menurut saya, ini harus dibawa ke ranah hukum yang lebih tinggi," kata Eka Sudarmaja.
Pihak PLN kemarin mendatangi Polresta Denpasar guna melaporkan aksi penembokan yang dilakukan di tempat masuk Gardu Induk Jalan Imam Bonjol Denpasar itu.
PLN meminta pihak kepolisian bersikap. Menurut PLN, dengan ditutupnya akses masuk gardu, itu memungkinkan terjadinya gangguan pelayanan listrik di kawasan Badung Selatan danDenpasar.
Sertifikat kepemilikan dengan catatan konfidensial pun akhirnya diberikan oleh PLN kepada pihak kepolisian sebagai syarat permohonan mereka diproses oleh kepolisian.
“Karena ini kan objek vital nasional, objek negara. Kira-kira apa respons dari kepolisian? Kalau dibiarkan seperti itu dan dampaknya listrik padam , ya yang penting kan kami sudah melaporkan. Jangan sampai nanti kami disalahkan kenapa terjadi pemadaman," Eka Sudarmaja menjelaskan.
 Menurut Sudarmaja, berdasarkan dokumen yang dia pegang, kawasan yang diklaim milik I Gusti Made Mentog tersebut di dalam sertifikat tercatat atas nama I Gusti Putu Pemecutan.
Itulah sebabnya, mengapa pihak PLN menyebut kasus ini harus dibawa ke ranah hukum di pengadilan untuk menyelesaikannya.
"Kalau tanah yang diakui oleh mereka itu sudah SHM (sertifikat hak milik) yang diakui. Yang jelas di SHM itu bukan tanah I Gusti Made Mentog, tapi mereka mengklaimnya. Yang di SHM, I Gusti Putu Pemecutan. Karena itu, persoalan ini harus dibawa ke ranah lebih tinggi. Kalau pun nanti kita dinyatakan bersalah, akan kami terima," katanya.(*)